
Sampah Yang Telah Menjadi Harta
BARA DALAM SURGA
Oleh : Sultan Hermanto Sihombing
Kita adalah bara dalam surga..
Memilah, Memilih untuk menjadi saudara
Kita adalah Jiwa miskin yang merasa kaya
Bercerai karena harta, mempertontonkan sikap serakah
Apakah kita manusia?
Sedangkan harta lebih berharga dari nyawa
Kita berkata “Kita Manusia”
Namun alam kita perkosa agar dapat berkuasa
Kita ibarat jarum dalam selimut
Menusuk mereka yang tidak berdaya
Bahkan kita kalah dari semut
Yang berbagi salam saat jumpa…
Manusiakah kita ini?
Menumpuk harta untuk pribadi
Membangun istana untuk mengebiri
Hak hak si miskin yang ingin berekspresi
Tahukah kita?
Sang kuasa mencipta manusia bukan untuk meraja
Melainkan untuk menjaga…
Tetapi, kita menghina, merusak, membunuh demi kata “KAYA”
Kita bernyawa
Hanya sebatas pigora
Mencumbu keserakahan dunia
Dan bercinta dengan neraka
Kita mahluk beraga
Namun sekedar hiasan
Bersekutu dengan dosa
Mempermainkan agama demi jabatan…
Kita berakal
Hanya untuk memperkosa alam
Berdiri tegap melahap kemanusiaan
Bergandengan tangan menghisap darah pekerja sawah
Kelakar menonton si miskin meregang nyawa
Widji Tukul, Soe Hok Gie, Tan malaka
Merekalah manusia
Munir, Marsinah dan Bimo Anugrah juga Manusia
Apakah beras harus menjadi batu keras
Apakah nyawa harus menjadi tanah
Apakah raga harus menjadi bangkai sisa
Agar kita sadar, “KITA MANUSIA”
Bukan bara dalam Surga
CATATAN SEORANG TUAN
Oleh : Sigit Allobunga’
Puan tak lagi jadi misteri
Tapi, telah nampak sebagai permaisuri
Indah sebagai lubang remukan hati lelaki
Anggun atas wajahnya yang berseri-seri.
Akhlak anggun ialah dirinya,
Ayu hingga pusaran perjuangannya.
Dengan sifat yang mudah menari
Mengantongi setumpuk amarah
Hingga menjadi musibah,
Bagi yang tak mengindahkan kaumnya.
Oh iya,
Dulu, dia itu tak pandai menari,
Menari menghibur kaumnya.
Dulu tak pandai menyanyi,
Menyanyikan lagu perjuangan kaumnya.
Hanya pandai menghias diri,
Tapi tidak untuk kehidupan kaumnya.
Dia hanya debu yang telah terbang tinggi
Bersama awan-awan penutup mentari
Kini,
Dunianya telah tinggal dan kembali
Kehidupan foya berganti istimewa
Menembus cakrawala keangkuhan hati
Dia yang telah gigih,
Berdiri memberi diri
Atas kaumnya yang telah diam sembunyi-sembunyi
Dari lalu-lalangnya nafsu lelaki
Kaummu puan, terus dibuntuti.
Karena tampak berseri.
Jelas tampak hatimu, puan
Seperti orang kecabaian
Melihat kaummu terperdaya tak melawan
Oleh rayuan pikiran lama rongsokan
Terbukti di suatu hari memilih oposisi
Berdiri menagih janji
Dari jauh mata ini memandangi
Aku terselimuti rasa memuji
Engkau melawan,
Melihat rahim jadi mainan.
Engkau melawan,
Menantang mereka pemburu selangkangan.
Kembali aku kagum…
Aku yang berdiri di antara manusia itu
Seirama dalam rasa
Rindu mencumbui pemikiranmu.
Mungkinkah engkau memilihku?
[…] Baca juga : sampah yang telah menjadi harta […]
[…] Baca juga : Sampah Yang Telah Menjadi Harta […]